KRITIK hakikatnya adalah oksigen bagi paru-paru demokrasi yang menabukan kekuasaan mutlak di satu tangan. Karena itulah, negara yang demokratis secara sadar mendesain keseimbangan di antara cabang kekuasaan untuk saling kontrol.
Tidak hanya itu. Negara modern yang beradab justru menjadikan kritik sebagai vitamin yang menyuburkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya negara yang pejabatnya otoriter yang mati-matian mematikan kritik. Itulah praktik pemerintahan Orde Baru yang represif, yang membunuh kritik dan daya kritis.
Semangat mematikan kritik dan daya kritis itu kini muncul lagi dalam diri Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Saat menanggapi pernyataan tokoh lintas agama yang menyebut pemerintah melakukan kebohongan, Dipo Alam menyebut mereka sebagai burung gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih.
Pernyataan itu menunjukkan sikap antikritik. Bahkan, pernyataan Dipo Alam yang kasar itu merupakan penghinaan yang serius terhadap tokoh lintas agama.
Dipo Alam juga menilai para aktivis dan pengamat yang mengkritik pemerintah sebagai orang yang terjangkit wabah mata kalong.
Tak hanya berhenti di situ. Sekarang syahwat antikritik dipertontonkannya terhadap pers. Dia memerintahkan seluruh jajaran kementerian dan lembaga negara untuk memboikot media yang kritis terhadap pemerintah. Boikot dilakukan dengan tidak memasang iklan di media tersebut. Media yang dimaksud yaitu Metro TV, TV One, dan Media Indonesia.
Dipo Alam, yang semasa mahasiswa merupakan aktivis yang menentang pemerintah, rupanya sekarang justru meniru apa yang dilakukan rezim Orde Baru yang dikritiknya, yaitu mematikan hak perdata Petisi 50 dengan membunuh sumber-sumber finansial mereka.
Dipo Alam juga melecehkan pers sebagai pilar keempat. Ia memerintahkan seluruh staf khusus presiden untuk tidak meladeni wawancara kedua televisi dalam acara prime time karena hanya membuat laris televisi tersebut.
Sekretaris Kabinet Dipo Alam jelas bukan hanya menunjukkan antikritik, melainkan juga berkehendak membunuh kebebasan pers. Dia memberedel hak publik untuk tahu. Bahkan, dia memperlakukan jabatannya dan jabatan staf presiden bukan sebagai jabatan publik, melainkan sebagai jabatan privat, yang dapat diperlakukan sesukanya.
Dipo Alam juga menempatkan dirinya bak perdana menteri yang berwenang memerintahkan seluruh sekretaris jenderal kementerian untuk tidak memasang iklan kepada media yang kritis dan melarang staf khusus presiden untuk diwawancara. Dipo menunjukkan dialah bos, bukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejauh ini tidak ada tanggapan Presiden. Pertanyaannya apakah yang dilakukan Dipo Alam itu merupakan sikap pemerintahan Yudhoyono?
0 komentar:
Posting Komentar