Jumat, 19 April 2013

11.56
Narasumber
1. Nama : Udin (Kirut)
Usia : 31 Tahun
TTL : Indramayu, 01 Februari 1982
Pendidikan Akhir : Sekolah Dasar (SD)
Pekerjaan : Penjual Es Kelapa
Lama Profesi : 5 Tahun
2. Nama : Mustarom
Usia : 45 Tahun
TTL : Brebes, Februari 1968
Pendidikan Akhir : Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Pekerjaan : Penjual Es Kelapa
Lama Profesi : 5 Tahun

Penjual Es Kelapa
Pak Udin atau biasa dipanggil Kirut dan Mustarom adalah seorang penjual Es Kelapa, mereka membuka lapak dan berjualan di pinggir Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Keduanya sudah berjualan cukup lama, yakni hampir 5 tahun. Pak Udin dan Mustarom merupakan seorang perantau yang mengais rezeki di Ibukota. Istri dan anak-anak mereka ditinggalkan di kampung halamannya di Indramayu, Jawa Barat dan Brebes, Jawa Tengah. Tujuan ini tak terlepas demi menghidupi anggota keluarganya di kampung, kedua pedagang ini rela bekerja keras dan meninggalkan sanak saudaranya untuk mendapatkan penghasilan hidup yang lebih baik di Jakarta. Kehidupan di tempat asal mereka dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk makan bahkan membiayai sekolah anak-anak mereka tidak mencukupi. Di tempat tinggal mereka di Indramayu dan Brebes, Pak Udin hanyalah berprofesi sebagai buruh tani dan Pak Mustarom berprofesi sebagai kuli bangunan. Dengan penghasilan yang tidak menentu tiap harinya bahkan pas-pasan. Inilah yang menggerakan niat mereka untuk merantau ke Jakarta agar mendapat penghasilan yang mencukupi dan tentu saja memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak mereka di kampung. Inilah cinta kasih sayang dan tanggung jawab serta pengabdian seorang bapak untuk keluarganya.

Masa-masa sulit tentu saja ada. Pak Udin dan Mustarom merasakan hal itu saat pertama menginjakan kaki di Jakarta. Dari mulai masalah sewa tempat tinggal hingga mencari pekerjaan yang cukup layak. Awal pertemuan mereka berdua tidak begitu mereka ingat, tapi ada sebuah peluang untuk mencoba usaha berdagang sesuatu. Es kelapa, itulah yag menjadi bahan jualan yang hingga saat ini menjadi usaha mereka. Tidak semudah apa yang mereka bayangkan untuk membuat sebuah usaha baru di bukan daerah tanah kelahirannya. Di masa-masa awal berjualan es kelapa yang mereka berdua rintis, cobaan demi cobaan terus melanda, mulai dari memasok bahan utama yakni kelapa yang kurang bagus, sehingga terus mengalami kerugian dan tidak menutup modal mereka. Saat kami menanyakan mengenai jumlah pendapatan perharinya, mereka menjawab hingga saat ini belum mencukupi,“Kalau yang namanya es kelapa tergantung cuaca ya, kalau cuaca begini hujan begini, boro-boro buat keuntungan, modal aja belum ada, belum dapat. Paling perhari dapat Rp. 300.000,-, modalnya aja lebih dari Rp. 300.000,-.“ jawab Pak Mustarom. Untuk modal es kelapa ini Pak Udin dan Mustarom minimal Rp 500.000,- per-harinya, tentu berbanding terbalik dengan pendapatan yang mereka dapatkan per-harinya jika cuaca yang akhir-akhir ini hujan. Namun, jika cuaca sedang panas, keuntungan yang mereka dapat sangat mencukupi, “Perhari kalo cuaca panas dapat 500 (Rp. 500.000,-) gitu,.. 500-600 pasti dapat.” kata Pak Mustarom. Seperti inilah gambaran tentang penderitaan yang dirasakan kedua penjual es kelapa ini yang buka dari mulai jam 8 pagi hingga 9 malam.

Belum cukup disitu, kedua penjual es kelapa ini juga merasakan kegelisahan, seperti yang telah kami ungkapkan di paragraf sebelumnya bahwa, pengeluaran berbanding terbalik dengan pendapatan. Kegelisahan jika sudah memasuki musim hujan maka pendapatan berkurang, untuk membayar kontrakan dan sewa tempat pun tidak mencukupi, Pak Mustarom mengatakan “Perbulannya disini nyewa 600 (Rp. 600.000,-).” “…Kalau cuaca hujan terus, buat bayar kontrakan juga bingung, ini buat sewa tempat.”

Rezeki memang tidak lari kemana. Itulah sebutan yang tepat ketika penjual es kelapa meraup untung banyak saat bulan Ramadan atau Puasa. Bulan puasa tentu banyak orang yang mencari minuman segar untuk melepas dahaga dikala berbuka puasa, inilah sebuah berkah yang dirasakan oleh Pak Udin dan Mustarom dimana dibulan itu mereka bisa mendapat keuntungan yang cukup besar dibanding bulan-bulan lainnya. Sebuah keindahan yang dirasakan oleh kedua penjual es kelapa ini.

Kami juga menanyakan bagaimana pandangan seorang penjual es kelapa ini tentang Indonesia.
1. Bagaimana menurut Anda kondisi Indonesia saat ini?
Pak Udin: “Tau, ya. Ya biasa-biasa aja, buruk perekonomiannya. Masih ada busung lapar.”
2. Apa pengaruh yang Anda rasakan dalam kehidupan sehari-hari?
Pak Udin: “Apa ya...”
Pak Mustarom: “Faktor ekonominya aja, kurang kan, kesejahteraannya masih kurang…”
3. Apa yang Anda sudah berikan kepada Indonesia?
Pak Mustarom: “Belum ada. Soalnya bagi pedagang pemikirannya apa, cuma pemikirannya kan 1,  ekonomi anak istri, empanin gitu… kemungkinan besar mah, mungkin kalo pemikirannya bagi orang-orang pejabat lah, bagi pejabat… pejabat pemerintahan, itulah yang memikirkan.”
Jawaban yang cukup menggugah hati kita, kami berpendapat bahwa inilah jeritan rakyat yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Karena Pak Udin dan Mustarom ini merasakan langsung betapa sulitnya mendapat kehidupan layak di negeri yang mereka injak saat ini.

Setiap manusia pasti punya harapan untuk masa depan yang lebih baik. Inilah jawaban mereka.
1. Bagaimana solusi pemerintah atas permasalahan Anda?
Pak Udin: “Seharusnya pedagang-pedagang di kasih modal.”
Pak Mustarom: “Kan kalau ditambahkan modal kan bisa berkembang. Nah… apalagi pedagang es kelapa, kalau hujan gini, haduh…”
2. Apa yang Anda inginkan dari pemerintah untuk memperbaiki hidup Anda?
Pak Mustarom: “Ya... kalo yang kita inginkan, bapak rasa sejahterakan ekonomi-lah, masyarakat kecil gitu kan, eee… kita-kita ini orang, pedagang-pedagang.”

Itulah yang diharapkan Pak Udin dan Mustarom, pedagang yang berpenghasilan kecil seharusnya mendapat modal untuk mengembangkan usahanya agar lebih berkembang dan mendapat keuntungan yang sesuai.

Wawancara kami dengan penjual es kelapa yang berjuang menghidupi diri sendiri maupun keluarganya ini, mungkin hanya 1 dari sekian juta orang lainnya di negeri ini yang bernasib sama bahkan lebih dari ini. Seakan rakyat kecil seperti Pak Udin dan Mustarom ini dilupakan perhatiannya oleh para aparat pemerintah negeri ini. Pak Udin dan Mustarom hanyalah contoh warga yang sulit mencukupi kehidupannya di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya. Masih banyak di daerah terutama yang terpencil, masyarakatnya harus hidup bersusah payah hanya untuk sesuap nasi.

Yang membuat kami salut adalah Pak Udin dan Mustarom tetap bersemangat untuk tetap bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama keluarganya, dengan berjualan es kelapa ini. Keluh kesah yang dihadapi menjadi angin lalu yang bisa saja berulang, namun mereka tetap bersabar menghadapi itu semua.

FACHRINEWS © 2013
Tulisan ini disusun sebagai tugas Wawancara, mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar - Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar